Kudus
adalah kota terkecil di jawa tengah yang
memiliki luas sekitar 42.516 Ha, yang mana merupakan bagian jalur pantai utara
, berupa jalur setrategis Surabaya – Semarang- Jakarta, yang sangat penting dan
setrategis tentunya, Kota Kudus di sebelah barat berbatasan langsung dengan
Kecamatan Demak dan Kecamatan Jepara,
sedangkan di daerah utara berbatasan dengan Kecamatan Jepara dan Pati, di bagian selatan berbatasan
langsung dengan Kabupaten Grobogan dan Pati di bagian timur berbatasan dengan
Kabupaten Pati.
Kota
Kudus merupakan kota industry dan pedagang yang mana berlatar belakang agamis,
kota industy bisa dilihat dari banyakmya industry yang dibangun di kota baik
berupa industry menengah ke atas atau menengah ke bawah, industry menengah ke
atas seperti banyaknya pabrik rokok Djarum, Sukun, Nojorono yang sebagian besar
warga Kudus menggantungkan hidup dari karyawan pabrik rokok tersebut, contoh
lain adalah pabrik kertas yang banyak berdiri di kota kudus, seperti PT Pura Barutama
yang merupakan pabrik kertas terbesar di Kabupaten Kudus, sedangkan industry
menengah ke bawah seperti industy konveksi, makanan ringan seperti jenang
kudus, sirup jahe, madu mongso, dan marning, sedangakan kota pedagang yang
berlatar belakang agamis, bisa dilihat banyaknya pedagang yang berjualan di
area wisata Sunan Kudus dan Sunan Muria yang mana banyak warga yang
menggantungkan hidup di daerah tersebut dan berharap banyak peziarah yang
datang mengunjungi tempat tersebut.
Kota
Kudus sebagai kota religi atau pusat wisata religi karena banyaknya obyek
wisata di Kudus yang berbau religi khususnya Agama Islam,dintara wisata religi
di Kabupaten Kudus adalah, obyek wisata Menara Kudus, obyek wisata makam Sunan Kudus, obyek wisata Makam Sunan Muria,
obyek wisata air terjun Montel, obyek
wisata Rejenu, obyek wisata Makam Bagus Rinengku dan Dewi Nawangsih, makam
Pangeran Puger, makam Kyai Tlingsing, makam Sidomukti, Petilasan Kaliyetno, dan
ada juga peringatan keagamaan tertentu seperti Buka Luhur, Dhandangan, dan Kupatan
serta banyak lagi acara keagamaan di Kota Kudus.
Perjalanan
pertama di mulai pusat Kota Kabupaten Kudus, yaitu di Komplek Masjid Menara Kudus
tepat nya di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa
Tengah, yang mana Masjid Menara Kudus yaitu Masjid Al Aqsha atau Masjid Al
Manar yang di banguan oleh Sunan Kudus yang memiliki nama asli Ja’far Shidiq pada
1549 M ,yang nama Masjid Al Aqsha berbentuk unik karena memiliki menara yang
berbentuk seperti candi yang di susun
dengan bahan baku batu bata merah di bangun oleh Sunan Kudus sebagai pendiri
dan pemrakarsa, pada 1.685 M, yang bertempat di komplek menjadi kebanggaan
masyarakat Kudus, di mana Menara Kudus di bangun dengan akulturasi kebudayaan
Hindu dan Islam yang mana masyarakat Kudus dulu beragama Hindu dan Budha,
seperti para walisongo lainnya, Sunan Kudus pun mempunyai cara berdakwah
diantaranya melakukan adapatasi ajaran agama islam di mayoritas masyarakat yang
beragama hindu dan budha dan sebagai bukti dari peninggalan Sunan Kudus adalah
Menara Kudus.
Menurut
sejarah Sunan Kudus bukanlah asli Kudus akan tetapi bersal dari Kota Al Quds ,
Negara Palestina, jika di urutkan berdasarkan nasab keturunan, Sunan Kudus
merupakan keturunan ke 24 dari Nabi Muhammad SAW, yang mana Sunan Kudus bersama
kakek, ayah dan kerabatnya hijrah ke pulau Jawa untuk mensyiarkan agama Islam
di tanah Jawa, Sunan Kudus di kenal sebagai Wali yang toleran, ahli ilmu, gagah
berani, kharismatik dan seniman, dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak
berguru pada Sunan Kalijaga yang mana juga di kenal toleran terhadap budaya
jawa, sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam pengajaran agama dan budaya
setempat.
Perjalanan
kedua kita bergeser ke Desa Demaan, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Provinsi
Jawa Tengah, di tempat tersebut terdapat makam Pangeran Puger, yang dibangun
pada tahun 1928 M, nama sebenarnya dari Pangeran Puger adalah Raden Kurawi yang
berasal dari Mataram, Dalam
Sejarah mengatakan bahwa beliau merupakan putera kedua Panembahan Senopati,
Raja pertama Mataram Islam. Nama kecilnya adalah R.M. Kejuron. Akan tetapi,
karena Pangeran Puger
lahir dari seorang selir bernama Nyai Adisara, tahta kerajaan jatuh kepada
adiknya, Panembahan Sedo Ing Krapyak. Beliau merupakan putera kesepuluh
Panembahan Senopati, yang lahir dari Permaisuri. menurut cerita
Pangeran Puger pernah menjadi Senopati pada Kerajaan Demak Bintoro yang pada
saat tersebut terjadi perang antar saudara yang memperebutkan daerah kekuasaan,
karena hasutan Singopadon, Pangeran Puger pernah di penjara di Demak, setelah
keluar dari penjara beliau berguru pada Sunan Kudus, beliau merupakan salah
satu penyebar agama Islam di Desa Demaan Kudus Kota.
Perjalanan
ketiga menuju Desa Sunggingan, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa
Tengah di tempat tersebut terdapat makam Kyai Tlingsing,yang lebih dulu dari Sunan Kudus yang sama mensyiarkan agama islam di
Kudus, beliau juga merupakan salah seoarang Guru dari Sunan Kudus. Nama kyai
Tlingsing berasal dari panggilan sederhana beliau yaitu The Ling Sing,yang
merupakan Ulama dari Luar Negeri bersama dengan Laksamana Cheng hoo beliau
adalah seorang muslim asal kota Yunan, Tiongkok yang menjadi cikal bakal muslim
Tiong hoa di Kudus, yang mana masyarakat Kudus masih mayoritas Beragama Hindu
dan Budha, dan kedua nya berhasil mengembangkan dakwah di daerah Kudus, hingga
agama Islam maju dengan pesatnya di Kota Kudus, semasa hidup beliau di kenal
sebagai seorang ahli lukis asal Dinasti Sung yang memiliki motif yang khas,
selain itu beliau juga seorang pedagang dan seorang mubaligh yang trekemuka, diantara
sabda Kyai Tlingsing adalah “Sholat Sacolo Saloho Donga Sampurna” artinya
sholat adalah sebagai doa yang sempurna, “Lenggahing Panggeran Tersetihing
Ngaji” artinya menempatkan diri pada sesuatu yang benar, suci dan terpuji, dan
sebagian orang mengatakan bahwa beliau dalah seorang pemahat, dari aliran sun
ging, yang mana nama sun ging menjadi kata nyunging yang artinya memahat atau
mengukir, menurut cerita Sunan Kudus pernah di datangi tamu dari tiongkok, yang
mana Sunan Kudus meminta Kyai Tlingsing untuk membuat cinderamata untuk tamu
dari Sunan Kudus Tersebut, dan Kyai Tlingsing membuat kendi dan diserahkanlah
kendi tersebut pada Sunan Kudus, dan rupanya Sunan Kudus kurang berkenan akan
pemberian Kyai Tlingsing tersebut, yang menurutnya biasa saja, dan kurang
pantas jika di jadikan cinderamata bagi tamu nya asal Tiongkok tersebut, dengan
perasaan kecewa Sunan Kudus memecahkan kendi tersebut, sehingga kendi tersebut
pecah, sehingga terlihatlah lukisan indah yang berada di dalam kendi tersebut,
berupa kalimah syahadad, beliau pun merasa kaget menunjukkan kekagumanya pada
sosok Kyai Tlingsing, betapa Kyai Tlingsing adalah seseoraang yang memiliki
karomah.
Perjalanan
ke empat menuju ke Desa Kaliputu, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Provinsi
Jawa Tengah, tepatnya pada makam Sidomukti (makam keluarga Adipati Ario Condro
Negoro III) , yaitu makam Adipati Aryo Condro Negoro yang mana merupakan Bupati
Kudus pada Zaman Hindia Belanda, yang mana daerah kekuasaan beliau meliputi
Kabupaten Kudus dan Pati, yang pada saat itu masih satu wilayah kekuasaan, di dalam
makam Sidomukti terdapat makam R.M.P Sosrokatono merupakan adik dari R.A
Kartini merupakan guru spiritual Sukarno, beliau mengusai 26 bahasa dan pernah
menjadi wartawan dari Indonesia yang bergabung dengan New York Times pada tahun
1971, ada 3 ajaran beliau yang terkenal adalah : ngelurug tanpo bolo, menang
tanpo nagsorake, sepi ing pamrih rame ing gawe.
Selanjutnya
perjalanan bergeser kearah utara, menuju Desa Colo, Kecatan Dawe, Kabupaten
Kudus, Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di obyek Makam Sunan Muria yang berada di
lereng Gunung Muria, yang mana untuk mencapai tempat tersebut perlu perjuangan
dengan menapaki beribu anak tangga dari beton untuk mencapai area komplek makam,
atau dengan naik ojek dengan biaya terjangkau tentunya, sejarah Sunan Muria, nama
asli beliau adalah Raden Umar Said, Bapak beliau adaalah Sunan Kalijaga dan Ibu
beliau adalah Dewi Soejinah, berbeda dengan Sunan Kalijaga, karena beliau lebih
suka menyepi, lebih suka bertempat di daerah terpencil jauh dari pusat kota
dalam menyebarkan agama Islam, beliau di kenal sebagai Sunan Muria, karena
makam beliau yang beliau yang berada di Gunung Muria, yang mana Gunung Muria
berbatasan langsung dengan Kabupaten Jepara dan Kabupaten Pati, Sunan Muria
suka bergaul dengan rakyat jelata dengan mengajarkan berbagai keterampilan
diantaranya adalah bercocok tanam, berdagang dan melaut, karena beliau berdakwah
dari Jepara, Tayu, Juwana, Kudus dan Pati, masih di Desa Colo, terdapat wisata air
terjun montel yang raamaai di kunjungi karena suasana nya masih sejuk dan asri,
selanjutnya bergeser lagi di puncak Argowiloso tepatnya di daerah Rejenu, di obyek ini terdapat makam
Syech Sadzali, sebuah musholla dan tiga sumber mata air tiga rasa, yang
memiliki rasa yang berbeda beda, rasa yang pertama agak sepet sepeerti cola,
rasa yang keduaaagak asin, rasa yang ketiga yaitu rasa tawar.
Perjalanan
ke enam menuju Desa Kandangmas, Kecamatan Dawe , Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa
Tengah, yang tepatnya di daerah perbukitan Dukuh Masin di tempat tersebut
terdapat Makam Dewi Nawangsih dan Raden Bagus Rinangku, Dewi Nawangsih salah
seorang putri dari Sunan Muria yang berparas cantik, sedangkan Raden Bagus
Rinagku adalah salah seorang murid dari Sunan Muria yang terhitung cerdas dan
beretika pada saat itu, dan beliau merupakan putra dari pangeran di Pandanaran,
menurut legenda Dewi Nawangsih dan Raden Bagus Ringaku adalah sepasang kekasih
yang telah mengikat janji untuk mengarungi hidup bersama, tetapi hubungan kedua
nya tidak di restui dengan Sunan Muria yang merupakan ayah dari Dewi
Nawanngsih, karena Dewi Nawangsih akan di jodohkan dengan salah seorang murid
dari Sunan Muria, untuk menjauhkan putrinya dengan Raden Bagus Rinangku agar
terkesan baik, Sunan Muria memilki rencana untuk memberikan tugas tugas yang
berat kepada Raden Bagus Rinangku, tugas pertama adalah membasmi perusuh di
sekitar Pegunungan Muria, yang selalu membuat sewenang wenang dengan merampok
dan merampas harta warga dan telah banyak korban, jika Raden Bagus Rinangku gagal
maka Raden Bagus Rinangku akan amaati dan tidak dapat bertemu putriku lagi,
tapi takdir berkata lain, Raden Bagus Rinangku berhasil menyelesaikaan tugas
dan kembali dengan keadaan selamat, mengetahui Raden Bagus Rinangku Berhasil,
Sunan Muria memberi tugas lain kepada Raden Bagus Rinangku yaitu menjaga daerah
persawahan di daerah Masin yang kebetulan di Tanami padi yang sedang menguning,
mendapat tugas tersebut Raden Bagus
Rinangku tetap mejalankan walupun dengan berat hati meninggalkan kekasih dalam
waktu yang tidak tentu, telah sekian lama dan tidak ada kabar dari Raden Bagus
Rinangku, membuat Dewi Nawangsih menjadi rindu berat pada Raden Bagus Rinangku,
pada akhirnya Dewi Nawangsih pun menyusul Raden Bagus Riangku di daerah Masin,
menyadari putrinya tidak ada di tempat Sunan Muria memerintahkan beberapa
santri untuk memeriksa di daerah Masin, apakah memang Dewi Nawangsih berada di
sana, dan memang benar di dapati Dewi Nawangsih dan Raden Bagus Rinangku dengan
memadu kasih di gubuk kecil di tengah sawah, mendapati hal tersebut seorang
santri pun kembali ke Pesantren untuk melapor pada Sunan Muria, bahwa Raden
Bagus Rinangku tidak menjalankan tugas nya untuk mejaga area persawahan dan
membiarkan burung burung berpesta menghabiskan padi yang telah menguning, malah
memadu kasih di gubug di tengah area persawahan, mendengar hal tersebut Sunan
Muria bergegas menuju daerah Masin untuk melihat hal yang sebenarnya, dan
kenyataan memang benar, burung burung telah berpesta padi pun habis di makan
burung, melihat hal tersebut Sunan Muria meminta Raden Bagus Riangku untuk mengembalikan
butir butir padi yang di malan oleh burung, Raden Bagus Rinangku pun meminta
maaf pada Sunan Muria dan sanggup mengembalikan butir padi yang telah di makan
oleh burung, Raden Bagus Rinangku pun berdo’a dan membaca mantra atas ijin
Tuhan yang Maha Esa dengan sekejab area persawahan tersebut kembali sedia kala
dengan kondisi padi utuh, melihat demostrasi ilmu dari Raden Bagus Rinangku
tersebut membuat Sunan Muria menjadi marah dan menganggap bahwa Raden Bagus
Rinangku menyaingi ilmu dari Sunan Muria sendiri, dengan perasaan marah Sunan
Muria mengambil panah dan mengarahkan anak padah pada Raden Bagus Rinangku,
dengan maksut untuk menakuti nakuti, tanpa sengaja anak panah tersebut terlepas
sehingga mengenai Raden Bagus Rinangku sampai ke punggung, sehingga robohlah
beliau dan kehabisan nafas, melihat kondisi tersebut Dewi Nawangsih pun berlari
menuju Raden Bagus Rinangku dengan menubruk Raden Bagus Rinangku yang tanpa
Dewi Nawangsih sadari bahwa anak panah masih menancap pada tubuh Raden Bagus
Rinagku, dan akhirya Dewi Nawangsih pun juga tertusuk sehingga kedua nya
meninggal secara bersamaan, kedua nya pun di makamkan secara bersama sama
dengan upacara penguburan jenazah yang di pimpin oleh Sunan Muria, dan setelah
acara penguburan tersebut masih ada yang meratapi Raden Bagus Riangku dan Dewi
Nawangsih, di Bukit Masin tersebut, melihat hal itu pun Sunan Muria pun berkata
“Bagaikan Pohon Jati saja Kalian Semua, berdiri terpaku di atas bukit” seketika
itu pun manusia manusia yang di maksutkan berdiri terpaku dan manjadi pohon
jati di atas bukit Masin, hingga sekarang dan di keramatkan oleh penduduk
sekitar.
Perjalanan
ke tujuh menuju Desa Ternadi, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa
Tengah, depatnya pada Petilasan Kaliyetno, yang mana tempat semedi Sunan Kalijaga
dalam memjaga tongkat amanat dari guru beliau yaitu Sunan Bonang, ada beberapa
versi asal dari nama kaliyetno yang pertama kaliyetno berasal dari kata kali
artinya sungai, yet artinya lumut dan no yang artinya tidak ada jika di
rangkai, kata kaiyetno yang artinya sungai yang tidak ada lumutnya versi kedua
menyebutkan kaliyetno bersal dari kata kali berarti sungai dan yetno yang
artinya mayite kono, jika di rangkai mempunyai arti sebagai tempat
pertapaan, menurut legenda terdapat
pemuda berandal bernama Loka Jaya panggilan muda Raden Syahid (Sunan Kallijaga),
suatu ketika Loka Jaya bertemu Sunan Bonang dan hendak merampok Sunan Bonang,
tetapi Loka Jaya tidak berhasil merampok Sunan Bonang, sebagai nasehat buat
Loka Karya, Sunan Bonang pun menunjuk sebatang pohon jati, dan berubahlah pohon
jati tersebut menjadi emas, berdasarkan kejadian tersebut Loka Jaya takjub akan
ilmu yang dimiliki oleh Sunan Bonang, timbul keinginan untuk berguru pada Sunan
Bonang oleh Loka Jaya, untuk di terima menjadi murid Sunan Bonang cukup sulit
bagi Loka Jaya, yaitu Loka Jaya harus menjaga tongkat Sunan Bonang yang di
tancapkan, untuk beberapa waktu sampai Sunan Bonang datang dan mengambil
kembali tongkat tersebut, permintaan tersebut pun di sanggupi oleh Loka Jaya
hingga berhasil mengemban amanat oleh Sunan Bonang, setelah berhasil Loka Jaya
di perintahkan oleh Sunan Bonang untuk berdakwah di Daerah Demak, sesampainya
di Demak nama Loka Jaya di Ganti dengan Sunan Kalijaga oleh Sunan Bonang.hingga
sekarang di sekitar petilasan tersebut cukup rindang oleh pepohonan, dan tumbuh
pula bambu yang menurut legenda merupakan tongkat yang di tancapkan oleh Sunan
Bonang.
Tidak
hanya tempat tersebut yang menjadi obyek sejarah dalam waktu tertentu pun
bebrapa tempat bisa menjadi obyek wisata karena suatu event religi :
Buka
Luwur merupakan upacara pergantian kain penutup makam yang berlangsung setiap
tahun sekali, untuk Buka Luwur Sunan Kudus di adakan pada setiap penanggalan 10
Syuro, sedangkan Buka Luwur pada Sunan Muria setiap penanggalan 16 Syuro, dan
pada puncak acara biasanya terdapat pembagian nasi selamatan dan bekas kain
penutup makam, dan sebagian orang yang beranggapan bahwa memakan nasi selamatan
dan memyimpaan potongan kain buka luhur kan mendatangan keselamatan dan
keberuntungan bagi orang tersebut dan keluarganya.
Dhandangan
merupakan tradisi masyarakat di Kota Kudus untuk menyambut puasa pada bula
Ramadhan, pelaksanaan kegiatan tersebut di sekitar Masjid Al Aqsho Menara Kudus
sampai di Simpang Tujuh, Pusat Kota Kudus, Sejarah Dhandangan berasal dari
Bedug di Menara Kudus yang di pukul hingga mengeluarkan suara, Suara tersebut
yang disebut dhandangan, yang pada saat itu bertujuan untuk mengumpulkan santri
untuk mendengarkan pengumumam awal bulan Ramadhan yang di sampaikan oleh Sunan
Kudus. Moment tersebut pun di manfaatkan masyarakat sekitar untuk berjualan di
sekitar masjid Menara Kudus, berlebih sampai jalan di Simpang Tujuh Kudus.
Kupatan
merupakan tradisi yang di selenggarakan di Kota Kudus, yang di adakan pada hari
ke tujuh setelah Hari Raya Lebaran Idul Fitri, ada beberapa daerah di Kudus
yang menyelenggarakan acara Kupatan diantaranya adalah :
-
Di Bulusan, Desa Hadipolo, Kecamatan
Jekulo, Kabupaten Kudus
-
Di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten
Kudus
-
Di Sendang Jodo, Desa Purworejo,
Kemaatan Bae, Kabupaten Kudus
-
Desa Kesambi, Kecamatan Mejobo,
Kabupaten Kudus
Demikian
adalah Artikel yang mengulas mendalam khusus wisata religi yang berada di Kota
Kudus, yang mempunyai nilai historis yang luhur di setiap tempatnya, mudah
mudah dapat memberikan informasi, baik untuk pembaca artikel ini, dan juga
peziarah.
Sumber
: Wikipedia.com
Dinas
Pariwisata Kabupaten Kudus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar